Tuesday, April 4, 2017

Kemuliaan cinta seorang ibu




Cinta Seorang Ibu Bersifat “Wlaupun”, bukan “Karena”


ALKSIAH- disebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, dan hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu sering kali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya yang mempunyai tabiat buruk, suka mencuri, berjudi, mengadu ayam, dan lain sebagainya. Ibu itu sering menangis meratapi nasibnya yang malang. Namun, ia selalu berdoa memohon kepada tuhan, “Tuhan, tolong sadarkan anakku yang ku sayangai supaya ia tidak berbuat dosa lagi. Aku sudah tua dan ingin menyaksikannya bertaubat sebelum aku mati.”
Namun, semkain lama, si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya. Ia sangat sering masuk penjara karena kejahatan yang dilakukannya. Suatu hari, ia mencuri di salah satu rumah penduduk desa, tetapi betapa malang nasibnya karena ia tertangkap. Kemudian, ia dibawa ke hadapan raja untuk di adili dan di jatuhi hukuman pancung. Pengumuman itu diumumkan ke seluruh desa. Hukuman akan dilakukan keesokan hari di depan rakyat, dan tepat saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi.
Sampailah berita hukuman itu ke telinga sang ibu. Ia pun menangis meratapi nasib anak yang dikasihinya dan berdoa kepada tuhan, “Tuhan, ampunilah anak hamba, biarlah hamba yang sudah tua ini yang menanggung dosa nya.”
Dengan tertatih-tatih, sang ibu mendatangi raja dan memohon supaya anaknya dibebaskan, tetapi sayang keputusan sudah bulat, dan anaknya harus menjalani hukuman. dengan hati hancur, sang ibu kembali ke rumah. Tak hentinya ia berdoa supaya anaknya di ampuni, dan akhirnya ia tertidur karena kelelahan dan dalam tidurnya ia bermimpi.
Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat datang berbodnong-bondong untuk menyaksikan hukuman tersebut. Sang algojo pun sudah bersiap dengan pacingnya dan si anak sudah pasrah dengan nasibnya. Terbayang di matanya wajah sang ibu yang sudah tua, tanpa terasa iapun menangis menyesali perbuatannya.
Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Sampai waktu yang ditentukan, lonceng belum juga berdentang, padahal sudah lewat lima menit. Suasanapun mulai tidak terkendali. Orang yang bertugas membunyikan lonceng pun mendatangi tempat pemancungan itu. Ia mengaku heran karena sudah sejak tadi ia telah menarik tali lonceng tetapi suara dentangnya tidak terdengar.
Saat semua orang merasa kebingungan, tiba-tba dari tali lonceng itu mengalir darah. Dengan jantung berdebar-debar, seluruh rakyat menantikan saat beberapa orang yang naik ke atas menyelidiki sumber darah.
Tahukah anda, apa yang terjadi? Ternyata, di dalam lonceng ditemui tubuh sang ibu tua dengan kepala hancur berlumur darah. Ia memeluk bandul di dalam lonceng yang menyebabkan lonceng tidak berbunyi. Dan sebagai gantinya, kepalanyalah yang terbentur di dinding lonceng.
Semua orang yang menyaksikan kejadian tersebut tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara itu, si anak meraung-raung memeluk tubuh sang ibu yang sudah diturunkan, karena menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibuya. Ternyata pada malam sebelumnya, sang ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di lonceng. Ia memeluk besi di dalam loncneng untuk menghindari hukum pancung anaknya.
Demikianlah kisah seorang ibu untuk anaknya. Betapapun jahat si anak, sang ibu tetap mengaasihi sepenuh jiwa dan raga. Marilah kita mengasihi orang tua kita masing-masing. Mereka adalah sumber kasih tuhan bagi kita di dunia ini.



Source: Book of Inspirational Story By Lidia Yurita
 

No comments:

Post a Comment